This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 06 Mei 2014

RATIFIKASI HUKUM INTERNASIONAL MENJADI HUKUM NASIONAL



HUKUM INTERNASIONAL :
RATIFIKASI HUKUM INTERNASIONAL MENJADI HUKUM NASIONAL


   A.        PENGERTIAN RATIFIKASI

Menurut Ensiklopedia Indonesia, ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang perjanjian Internasional dan persetujuan hukum internasional.
Ratifikasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
·   Ratifikasi oleh badan eksekutif. Ratifikasi ini biasanya dilakukan oleh raja-raja absolut dan pemerintahan otoriter.
·         Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem ini jarang digunakan
·      Ratifikasi campuran, yaitu ratifikasi yang dilakukan oleh eksekutif kemudian disahkan oleh badan legislatif negara yang mengadakan perjanjian. Sistem ini pada umumnya dianut negara-negara di dunia sekarang ini.


B.    HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

Ada dua teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional, yakni teori voluntaris dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya hukum internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.
Perbedaan pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat pertama, membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang kedua, beranggapan bahwa keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Akibat berikutnya, adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat hukum itu
Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme, dan dualisme.

a.   Aliran monoisme
Tokohnya adalah Hanz kelsen dan georges scelle. Menurut aliran ini, semua hukum merupakan satu system kesatuan hukum yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun negara-negara dalam masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan:
·    Walaupun kedua system hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek hukumnya tetap sama, yaitu individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
·      Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hukum tidak mungkin untuk dibantah. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat terhadap individu-individu maupun negara.
Ada juga paham bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
·     Bahwa tidak ada organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini.
·     Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.

Faham monoisme dengan primat hukum nasional ini mempunyai sejumlah kelemahan, yaitu:
·    Faham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sebagai hukum-hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumber perjanjian internasional, suatu hal yang jelas tidak benar.
·      Bahwa pada hakekatnya faham monoisme denagn primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan atas adanya hukum internasional yang mengikat negara-negara. Sebabnya, jika terikatnya negara-negara pada hukum internasional digantungkan kepada hukum nasional, ini sama saja dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional atas kemauan negara iru sendiri. Keterikatan ini dapat ditiadakan jika negara mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum internasional.
·       Bahwa hukum nasional itu tergantung hukum internasional (juga kekuatan berlakunya) yang mau tidak mau mengendalikan bahwa hukum internasional telah ada terlebih dahulu dan hukum nasional bertentangan dengan kenyataan sejarah.
·       Tak dapat dipertahankan dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan mengikatnya diperoleh dan hukum internasional atau bahwa hukum nasional merupakan suatu derivasi dan padanya. Kewenangan hukum nasional bukan pendelegasian dan hukum internasional melainkan dan negara yang bersangkutan itu sendini.

b.     Aliran dualisme
Tokohnya adalah Triepel dan Anzilorri. Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua system terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme perbedaaan kedua hukum tersebut disebabkan karena :
·         Perbedaan sumber hukum
Hukum nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara, sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.
·         Perbedaan mengenai subjek
Subjek hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara, sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional.
·         Perbedaan mengenai kekuatan hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal.
·    Hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian antara negara-negara harus di junjung tinggi.
·       Perbedaan-perbedaan empiris dalam sumber-sumber formal dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu, bahwa di satu pihak hukum internasional sebagian besar  terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan, sedangkan hukum nasional, di pihak lain, terutama terdiri dari hukum yang dibuat hakim (judge-made law) dan undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang nasional.

Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori dualisme memiliki kelemahan-kelemahan, yakni:
·    Pendapat yang menyatakan sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada dan berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan berlaku karena diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum internasional. Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya kehidupan manusia yang teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu untuk terikat.
·    Berlainannya subyek hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional juga tidak tepat. Sebab, dalam satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan. Di dalam hukum nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang hukum perdata dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada masa sekarang bisa menjadi subyek hukum.
·      Perbedaan berdasarkan struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur hanya merupakan persoalan gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan gejala dari tahap integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk organisasinya pun lebih bekembang dan lebih sempurna. 
·    Pemisahan mutlak hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau sesuai dengan hukum internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum internasional.



C.   PENTINGNYA MELAKUKAN RATIFIKASI

·     Negara-negara berhak untuk mengkaji dokumen yang telah ditandatangani oleh para wakil yang berunding.
·    Berdasarkan kedaulatan yang dimiliki oleh setiap warga Negara, setiap Negara berhak untuk menarik diri apabila dikehendaki.Dalam perjanjian perlu dilakukan penyesuaian dengan hukum  nasional dari setiap Negara yang mengadakan perjanjian.
·   Pemerintah perlu meminta pendapat  umum tentang isi perjanjian tersebut ( asas demokrasi).


D.        PROSES RATIFIKASI

a. Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional.
Dalam UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, dinyatakan bahwa pembuatan perjanjian internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, saling menguntungkan dan memperhatikan hukum nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pada pasal 5 disebutkan bahwa pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan dalam suatu pedoman delegasi.
Pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah :
·           Ketentuan Umum
·           Pembuatan Perjanjian Internasional
·           Pengesahan Perjanjian Internasional
·           Pemberlakuan Perjanjian Internasional
·           Penyimpanan Perjanjian Internasional
·           Pengakhiran Perjanjian Internasional
·           Ketentuan Peralihan
·           Ketentuan Penutup

Pengesahan perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pembuatan perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan diri untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan perjanjian internasional dapat dibedakan antara pengesahan dengan undang-undang dan pengesahan dengan keputusan presiden.

1.     Pengesahan dengan undang-undang
Apabila berkenaan dengan hal-hal berikut :
           - Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
·                   -  Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
·                   -Kedaulatan negara
·                   - Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
·                   - Pembentukan kaidah hukum baru
·                   - Pinjaman atau hibah luar negeri
Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk atau nama (nomenclature) perjanjian.

2.    Pengesahan dengan keputusan presiden
Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui keputusan presiden pada umumnya memiliki materi yang bersifat procedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangannasional, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan penanaman modal sertas perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis lainnya
Catatan:
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang sebaliknya, pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional dilakukan dengan keputusan presiden (pasal 11) dan salinannya disampaikan kepada DPR untuk dievaluasi.

b.  Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan dengan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR), harus diperhatikan hal-hal berikut :
·   Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
·   Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harung dengan persetujuan DPR.
·         Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan UU.

Perjanjian yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh presiden ialah perjanjian yang berbentuk treaty dan mengandung materi :
·      Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
·   Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara, perjanjian kerjasama ekonomi, atau pinjaman uang.
·           Soal-soal yang menurut UUD atau menurut system perundangan harus diatur dengan UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal kehakiman.


TAMBAHAN

1.     Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
                       ·    Penandatangan;
                       ·    pengesahan;
                       ·    pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
                       ·    cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

2.     Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
    perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.

3.      Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan dengan :
                       ·    masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
                       ·    perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
                       ·    kedaulatan atau hak berdaulat negara;
                       ·    hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
                       ·    pembentukan kaidah hukum baru;
                       ·    pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

4.     Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undangundang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

5.     Perjanjian internasional berakhir apabila :
·         terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
·         tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
·         terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
·         salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
·         dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
·         muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
·         objek perjanjian hilang;
·         terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional

6.     Proses ratifikasi di Indonesia adalah :
·           Proses penyiapan RUU untuk perjanjian internasional;
·           Mendapat persetujuan dari DPR
·           Pengesahan oleh presiden dan pengundangan oleh mensesneg atas perintah presiden

7.   Beberapa contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum nasional
·     Persetujuan Indonesia- Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditanda tangani di New York (15 Januari 1962) disebut agreement. Akan tetapi, karna pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk “pernyataan pendapat”.
·       Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6 Tahun 1973.
·        Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk “keputusan presiden