HUKUM
INTERNASIONAL :
RATIFIKASI HUKUM INTERNASIONAL MENJADI HUKUM NASIONAL
A.
PENGERTIAN
RATIFIKASI
Menurut Ensiklopedia Indonesia,
ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya
pengesahan undang-undang perjanjian Internasional dan persetujuan hukum
internasional.
Ratifikasi dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu :
· Ratifikasi oleh badan eksekutif.
Ratifikasi ini biasanya dilakukan oleh raja-raja absolut dan pemerintahan
otoriter.
·
Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem
ini jarang digunakan
· Ratifikasi campuran, yaitu ratifikasi
yang dilakukan oleh eksekutif kemudian disahkan oleh badan legislatif negara
yang mengadakan perjanjian. Sistem ini pada umumnya dianut negara-negara di
dunia sekarang ini.
B. HUBUNGAN
HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Ada dua
teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional, yakni teori voluntaris
dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya hukum
internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada
dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.
Perbedaan
pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat pertama, membawa
akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat
hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang kedua, beranggapan bahwa
keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Akibat berikutnya,
adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat hukum itu
Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional
dengan hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme,
dan dualisme.
a. Aliran monoisme
Tokohnya adalah Hanz kelsen dan georges
scelle. Menurut aliran ini, semua hukum merupakan satu system kesatuan hukum
yang mengikat individu-individu dalam suatu negara ataupun negara-negara dalam
masyarakat internasional. Menurut aliran monoisme, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan:
· Walaupun kedua system hukum itu
mempunyai istilah yang berbeda, tetapi subjek hukumnya tetap sama, yaitu
individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
· Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Hukum tidak mungkin untuk dibantah. Hukum internasional dan hukum
nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua
perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat terhadap
individu-individu maupun negara.
Ada juga paham bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
· Bahwa tidak ada organisasi di atas
negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini.
· Dasar hukum internasional yang mengatur
hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk
mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
Faham monoisme dengan primat hukum
nasional ini mempunyai sejumlah kelemahan, yaitu:
· Faham ini terlalu memandang hukum itu
sebagai hukum yang tertulis semata-mata sebagai hukum-hukum internasional
dianggap hanya hukum yang bersumber perjanjian internasional, suatu hal yang
jelas tidak benar.
· Bahwa pada hakekatnya faham monoisme
denagn primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan atas adanya hukum
internasional yang mengikat negara-negara. Sebabnya, jika terikatnya negara-negara
pada hukum internasional digantungkan kepada hukum nasional, ini sama saja
dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional atas kemauan negara iru
sendiri. Keterikatan ini dapat ditiadakan jika negara mengatakan tidak ingin
lagi terikat pada hukum internasional.
· Bahwa hukum nasional itu tergantung
hukum internasional (juga kekuatan berlakunya) yang mau tidak mau mengendalikan
bahwa hukum internasional telah ada terlebih dahulu dan hukum nasional
bertentangan dengan kenyataan sejarah.
· Tak dapat dipertahankan dalil bahwa
hukum nasional itu kekuatan mengikatnya diperoleh dan hukum internasional atau
bahwa hukum nasional merupakan suatu derivasi dan padanya. Kewenangan hukum
nasional bukan pendelegasian dan hukum internasional melainkan dan negara yang
bersangkutan itu sendini.
b.
Aliran
dualisme
Tokohnya adalah Triepel dan Anzilorri.
Aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan
dua system terpisah yang berbeda satu sama lain. Menurut aliran dualisme
perbedaaan kedua hukum tersebut disebabkan karena :
·
Perbedaan sumber hukum
Hukum
nasional bersumber pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara,
sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang
dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.
·
Perbedaan mengenai subjek
Subjek
hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara,
sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat
internasional.
·
Perbedaan mengenai kekuatan hukum
Hukum
nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan
dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan
negara-negara secara horizontal.
· Hukum nasional ditentukan oleh prinsip
atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan
sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip Pacta Sunt Servanda,
yaitu perjanjian antara negara-negara harus di junjung tinggi.
· Perbedaan-perbedaan empiris dalam
sumber-sumber formal dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu, bahwa di satu
pihak hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah
kebiasaan, sedangkan hukum nasional, di pihak lain, terutama terdiri dari hukum
yang dibuat hakim (judge-made law) dan undang-undang yang dikeluarkan
oleh pembuat undang-undang nasional.
Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori
dualisme memiliki kelemahan-kelemahan, yakni:
· Pendapat yang menyatakan
sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada dan berlakunya hukum
terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan berlaku karena
diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang
teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum internasional.
Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya kehidupan manusia yang
teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu untuk terikat.
· Berlainannya subyek hukum
antara hukum internasional dengan hukum nasional juga tidak tepat. Sebab, dalam
satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan. Di dalam hukum
nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang hukum perdata
dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek hukum internasional
adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada masa sekarang
bisa menjadi subyek hukum.
·
Perbedaan berdasarkan
struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur hanya merupakan persoalan
gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan gejala dari tahap
integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai masyarakat, masyarakat
nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk organisasinya
pun lebih bekembang dan lebih sempurna.
· Pemisahan mutlak hukum
nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan
kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau sesuai dengan hukum
internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan dengan hukum
internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum internasional.
C. PENTINGNYA MELAKUKAN RATIFIKASI
· Negara-negara berhak untuk mengkaji
dokumen yang telah ditandatangani oleh para wakil yang berunding.
· Berdasarkan kedaulatan yang dimiliki
oleh setiap warga Negara, setiap Negara berhak untuk menarik diri apabila
dikehendaki.Dalam perjanjian perlu dilakukan penyesuaian dengan hukum
nasional dari setiap Negara yang mengadakan perjanjian.
·
Pemerintah perlu meminta pendapat
umum tentang isi perjanjian tersebut ( asas demokrasi).
D.
PROSES
RATIFIKASI
a.
Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional.
Dalam UU No.24 tahun 2000 tentang
perjanjian internasional, dinyatakan bahwa pembuatan perjanjian internasional
harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, saling menguntungkan dan
memperhatikan hukum nasional atau hukum internasional yang berlaku. Pada pasal
5 disebutkan bahwa pembuatan perjanjian harus didahului dengan konsultasi dan
koordinasi dengan menteri luar negeri dan posisi pemerintah harus dituangkan
dalam suatu pedoman delegasi.
Pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Perjanjian
internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang
No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah :
·
Ketentuan Umum
·
Pembuatan Perjanjian Internasional
·
Pengesahan Perjanjian Internasional
·
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
·
Penyimpanan Perjanjian Internasional
·
Pengakhiran Perjanjian Internasional
·
Ketentuan Peralihan
·
Ketentuan Penutup
Pengesahan
perjanjian internasional merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pembuatan
perjanjian internasional karena pada tahap tersebut suatu negara menyatakan
diri untuk terikat secara definitif. Tentang pengesahan perjanjian
internasional dapat dibedakan antara pengesahan dengan undang-undang dan
pengesahan dengan keputusan presiden.
1.
Pengesahan dengan undang-undang
Apabila berkenaan dengan hal-hal
berikut :
- Masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara.
· -
Perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah
· -Kedaulatan negara
· - Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
· - Pembentukan kaidah hukum baru
· - Pinjaman atau hibah luar negeri
Pengesahan
perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi
perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk atau nama (nomenclature) perjanjian.
2.
Pengesahan dengan keputusan presiden
Jenis-jenis perjanjian yang
pengesahannya melalui keputusan presiden pada umumnya memiliki materi yang
bersifat procedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa
mempengaruhi peraturan perundang-undangannasional, diantaranya adalah perjanjian
induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, dan teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama
penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan penanaman modal sertas
perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis lainnya
Catatan:
Klasifikasi menurut materi perjanjian
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman bentuk pengesahan
perjanjian internasional dengan undang-undang sebaliknya, pengesahan perjanjian
internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional
dilakukan dengan keputusan presiden (pasal 11) dan salinannya disampaikan
kepada DPR untuk dievaluasi.
b. Proses ratifikasi perjanjian
internasional menurut pasal 11 UUD 1945
Pasal
11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan dengan dewan
perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain”. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama antara eksekutif
(presiden) dengan legislatif (DPR), harus diperhatikan hal-hal berikut :
·
Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
· Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harung dengan persetujuan DPR.
·
Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur dengan UU.
Perjanjian
yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh
presiden ialah perjanjian yang berbentuk treaty dan mengandung materi :
· Soal-soal politik atau soal-soal yang
dapat mempengaruhi haluan politik negara seperti perjanjian-perjanjian
persahabatan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
· Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa
sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara, perjanjian kerjasama
ekonomi, atau pinjaman uang.
·
Soal-soal yang menurut UUD atau menurut
system perundangan harus diatur dengan UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan
soal kehakiman.
TAMBAHAN
1. Pemerintah Republik Indonesia
mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai
berikut :
·
Penandatangan;
· pengesahan;
· pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik;
·
cara-cara lain sebagaimana disepakati
para pihak dalam perjanjian internasional.
2.
Pembuatan perjanjian internasional
dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah, penerimaan,
dan penandatanganan.
3.
Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan
dengan :
· masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara;
· perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah negara Republik Indonesia;
· kedaulatan atau hak berdaulat negara;
· hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
· pembentukan kaidah hukum baru;
· pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
4. Dalam mengesahkan suatu perjanjian
internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun non departemen, menyiapkan salinan naskah
perjanjian, terjemahan, rancangan undangundang, atau rancangan keputusan
presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang
diperlukan.
5.
Perjanjian internasional berakhir
apabila :
·
terdapat kesepakatan para pihak melalui
prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
·
tujuan perjanjian tersebut telah
tercapai;
·
terdapat perubahan mendasar yang
menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
·
salah satu pihak tidak melaksanakan
atau melanggar ketentuan perjanjian;
·
dibuat suatu perjanjian baru yang
menggantikan perjanjian lama;
·
muncul norma-norma baru dalam hukum
internasional;
·
objek perjanjian hilang;
·
terdapat hal-hal yang merugikan
kepentingan nasional
6.
Proses ratifikasi di Indonesia adalah :
·
Proses penyiapan RUU untuk perjanjian
internasional;
·
Mendapat persetujuan dari DPR
·
Pengesahan oleh presiden dan
pengundangan oleh mensesneg atas perintah presiden
7.
Beberapa contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional menjadi
hukum nasional
· Persetujuan Indonesia- Belanda mengenai
penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditanda tangani di New York (15 Januari
1962) disebut agreement. Akan tetapi, karna pentingnya materi yang diatur di
dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai
konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk “pernyataan
pendapat”.
· Perjanjian antara Indonesia-Australia
mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New guinea yang
ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun,
karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka
pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU,
yaitu UU No.6 Tahun 1973.
· Persetujuan garis batas landas kontinen
antara Indonesia dengan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei 1973).
Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya
tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk “keputusan
presiden