KONFLIK YANG PERNAH MELANDA
INDONESIA
1. Konflik Aceh
Konflik
vertikal Aceh punya akar sejarah panjang. Akar
konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama
bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh
adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua
pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang
sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada
pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan
diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional
bagi kemerdekaan Indonesia Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha
pemimpin Soekarno. Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud
Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di
dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam
yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh
tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919,
pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses
ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia
sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik
Indonesia
Masalah
mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah
tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka
adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan
Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah
provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya
dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara.
Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh,
sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas
Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan
daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam
Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi
mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal
26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas,
utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain
kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi
identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom
pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama
Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi
kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara
pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat
Islam di wilayah Aceh.
Konflik
kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap
mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat
Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat
yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah
pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit
pusat.
Selain
problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan
ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi
mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar
Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG
terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan
sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan
masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh.
Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat,
sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi,
survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di
Indonesia yaitu 2275 desa.
Gencarnya
pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum
pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari
kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja
ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga
memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di
lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang
(gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak
dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh
belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa. Berdirinya GAM
merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh.
Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik
militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah
versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi
Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya,
memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan
membenarkan gerakan mereka.
Pemberlakuan
DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan
militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan
konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir
penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis,
tenang, dan saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik
Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh
2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh
GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh
Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh
Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti
Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management
Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia.
Dalam
butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali
hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter
dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap
berada di tangan pemerintah pusat. Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas
wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati
bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat
istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera,
lambang, dan himne sendiri.
Di
bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang
luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang
ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak
menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber
daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan
MOU maupun di masa mendatang.
Dalam
masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya,
dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol
militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat
menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005.
Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi
adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah
relokasi adalah 9.100 orang.
Kini,
merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh,
pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk
mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah.
Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik
berlarut-larut yang terjadi selama ini.
2. Konflik Papua
Akar
konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter
diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1
Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah
Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia
atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak
separatisme hingga kini.
Jika
di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri
tahun 1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari,
tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas
umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan
tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang
transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik
Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :[12]
Kurang
mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil
alih Papua dari Belanda,
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam
penegakkan hukum atas mereka,
Pengabaikan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial
ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang
Papua.[13]
Dalam
perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang
penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM.
Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan
rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia
yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang
dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan
sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang
didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat,
komunitas-komunitas agama, dan LSM.
Jalan
ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang
Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden
Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya
adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya
sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi
termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin,
bahkan sangat miskin.[15]
Ans
Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim
peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat
di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam
pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya
membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang
berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan,
dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar
sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi
serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat
Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan
yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus
bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi
rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak
kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada
empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin
adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus menyelidiki
proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai
pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah
penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.[18]
3. Konflik Maluku
Hasbollah
Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan
konflik Aceh. Pertama,
di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama.
Kedua, di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang
direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.[19] Konflik yang
disoroti dalam tulisan ini adalah jenis yang kedua, konflik vertikal vis a vis
pemerintah pusat.
Transisi
politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau
dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca
kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949,
secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama
melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh
pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus
berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk
RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat
untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia
Timur.
Di
negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan
administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan,
yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi
akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap
pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh
yang mereka pandang berhaluan politik kiri.[20] Di Indonesia Timur inilah
kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan
Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang
bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan
tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya
ke dalam Republik Indonesia.
Sebelumnya,
tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik
Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H.
Manuhutu dan A. Wairisal.[21] Pemerintah segera melakukan serangan politik dan
militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya
(Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung
ke dalam Republik Indonesia.[22] Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja
menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda
dan Eropa Barat lain.
Ruth
Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas
agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian
kecil masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk
nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara
berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis
sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan.[24]
Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya
kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam
menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS
adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap
pemerintah pusat.
Puncak
revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999
dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang
dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak,
neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu
sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas.
Deklarasi
Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima
perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin
politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam
butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan
setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku
Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh
masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius
menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan
mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik
Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tim
Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang
diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999;
issue tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus;
issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama
secara paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai
peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim
tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa,
menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur
Maluku.
Di
awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan
privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa,
serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia
merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup
lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut
di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik
riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media
massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu
antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk
melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah.
Contoh
upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan
Merdeka, Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau
Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu
menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol
perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak,
segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita
laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan
eksistensinya sebagai wacana politik.
4. Kerusuhan etnis di Ambon tahun 1999
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease
sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang
merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Hingga 2 September 1991 setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang
luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan
kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah meninggalkan
tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi di 60 kamp
penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya. Transportasi, khususnya
transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan
persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan terhenti.[1]
Tidak
ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai daerah yang sangat sentral peranannya
dalam masa kolonial belanda dulu, dimana daerah ini banyak digunakan sebagai
agen tentara oleh kolonial. Sehingga tidak heran masih banyak orang ambon yang
masih tidak ingin berintegrasi dalam Indonesia karena mereka sudah terlalu
“enak” di ayomi oleh bangsa Belanda.
Pada
saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Jumlah
pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil
dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk
agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan
tentara.[2]
Sehingga
tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen
agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di
masing-masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian
pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda
yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di
masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar
kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang
saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung Batu
Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak
memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran
kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada
pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang
jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal
di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah
warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang
memimpin rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang
Batu Merah. Sekitar lima orang di muka rombongan itu mengenakan kain putih pada
lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab
bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri
mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran,
tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa itu dia
melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya
meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus
maju.
Rombongan
massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian bawah dari
rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap kotor berlumuran minyak.
Mereka menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan parang-parang panjang,
mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga api masuk ke dalam
rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai rata dengan tanah, seperti semua rumah
yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah
sudah dibakar, meskipun sebetulnya masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Kerusuhan Ambon priode kedua yang diawali dengan
pecahnya kerusuhan di pulau Saparua pada hari Kamis, tanggal 15 Juli 1999
menurut hasil investigasi sementara diakibatkan oleh dendam dan rekayasa
pihak-pihak tertentu.
Setelah pecahnya kerusuhan di Desa Siri Sori Islam,
Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga kota Saparua pada tanggal 15 dan 16
Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999 mulai terjadi kegiatan lempar-melempar
batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di Desa Poka dan daerah sekitarnya
Gang Diponegoro Kota Ambon.
Pristiwa saling lempar-melempar batu di sekitar
Perumnas Poka tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atas rumah-rumah
warga Kristen oleh warga Muslim di kompleks Perumnas Poka yang kemudian dibalas
dengan pembakaran rumah-rumah termasuk rumah-rumah Dosen Muslim di Desa Poka
dan Kompleks Universitas Pattimura oleh warga Kristen.
Bersamaan dengan itu warga Kristen sekitar Kudamati
melakukan aksi pembalasan pembakaran dan pembantaian terhadap warga Muslim suku
Buton di daerah Wara (Kramat Jaya) yang berada di sekitar Kompleks TVRI Gunung
Nona dan perkampungan warga Muslim Banda Eli di OSM Ambon yang mengakibatkan
beberapa buah rumah terbakar dan puluhan korban meninggal dunia.
Dari peristiwa ini kerusuhan mulai melebar ke
mana-mana hampir di seantero Kotamadya Ambon dan daerah-daerah pinggirannya.
Dari hasil investigasi, ternyata mulai hari Selasa,
tanggal 27 Juli 1999 kerusuhan pecah antara lain di Desa Rumahtiga (tetangga
Desa Poka), dimana hampir sebagian besar rumah-rumah penduduk warga Muslim
dibakar dan dimusnahkan oleh penduduk yang beragama Kristen. Demikian juga di
Kompleks Pemda II dan Perumahan Pemda I terjadi pembakaran, pengrusakan dan
penjarahan besar-besaran terhadap rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim.
Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan A.Y.
Patty mulai dari toko Dunia Musik bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah hingga
lorong toko kaca mata Optical Maluku hingga Bank Lippo dibakar dan dirusak oleh
masa Muslim, demikian juga beberapa rumah penduduk di Mardika. Sementara itu
pusat pertokoan di sekitar pantai pasar ikan lama (belakang Ambon Plaza)
dibakar habis oleh masa Kristen.
Kerusuhan akhirnya berlanjut di wilayah-wilayah lain
seperti di Galala dan Hative Kecil, Lata, Lateri dan Passo hingga Desa Waai,
bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim yang datang dari Waihaong sempat
menyerang dan membakar Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Maluku, Kompleks Dok
Wayame dan kapal yang ada di dalam kompleks tersebut serta rumah-rumah penduduk
yang ada di sekitarnya.
Dalam kerusuhan ini seperti ada yang memberi komando,
terjadi akumulasi masa secara besar-besaran seperti yang terjadi di Desa Poka,
Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa Islam dari Jasirah Leihitu sempat menyebrang
gunung dan ikut bergabung dengan masa Islam di Poka, Taeno (Rumahtiga) dan Kota
Jawa untuk menyerang warga Kristen. Demikian juga masa dari kota Ambon yang
sempat bergabung dengan masa Desa Poka dan Desa Rumahtiga yang beragama Kristen
untuk menghadapi masa Muslim.
Sayangnya aparat keamanan tidak bersikap jujur dan adil.
Di Desa Poka misalnya aparat keamanan mencoba menahan warga Kristen yang ingin
mempertahankan diri, sementara mereka membiarkan masa Muslim merusak, membakar
dan menjarah rumah-rumah penduduk. Demikian juga di Tanah Lapang Kecil dari
lantai atas Gedung Telkom aparat keamanan menembak masa Kristen di sekitar pasa
kaget Batu Gantung (depan Sekretariat GMKI), malah memimpin permbakaran rumah,
gedung pemerintah dan kompleks Dok Wayame di Tanah Lapang Kecil.
Dalam peristiwa kerusuhan kali ini ratusan bom dan
senjata rakitan, juga alat tajam lainnya telah dipergunakan untuk
membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh serta melukai ratusan
penduduk.
5. Konflik
Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di
Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa
resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai
macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik
yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti
lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang
mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi
Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang
cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku
pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan
sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah
disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut
Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama,
Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja
Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga
denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan
untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri,
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa
Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak
mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi
dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso
didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali
dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih
banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus
Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik
seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan
yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang
agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun
2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan
masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati
pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari
identitas agama dan suku[1].Untuk
seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap
konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar
persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua
pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada
perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan
keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah
kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh
beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami
ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun
1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim,
yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap
menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi
apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan
masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa
Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal
Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan
”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak
sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat
kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap
dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini
melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara
beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998,
konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua
terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus
berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada
November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan
antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam
konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk
dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas
wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat
mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di
Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota
keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua,
kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup
besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten
Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso
berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan
dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa
bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada
kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan
pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata
api. Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas
karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya.
Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan
6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari
keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua
pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi
konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok
pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan
dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya
hanya tepat disebut ”tawuran”, [3] sebab
konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok
lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras
bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan
November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara.
Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari
realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang
dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara
tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga
konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif
(wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang
umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000
mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat
dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta
meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya
disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda.
Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih
murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru
persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui
instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh
sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan
jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis
keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah
menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada
persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke
problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya
bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi
penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah
kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih
pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya
memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah
membangun dua image utama dalam dalam konstelasi politik Poso,
yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara
historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu
terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai
angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data
tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen
Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha
dan Hindu. [5]
1 komentar:
thanks.... smg ilmu'nya brtmabah..
Posting Komentar